Selasa, 07 Juni 2016

Makalah Supremasi Hukum

SUPREMASI HUKUM DI INDONESIA, SEBUAH 
PERSOALAN DIERA GLOBAL

Makalah
Pendidikan Kewarganegaraan



Disusun Oleh:

M. HADI MARTA EFENDI


PROGRAM STUDI SARJANA
DEPARTEMEN TEKNIK ELEKTRO
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
2016






KATA PENGANTAR

Alhamdulillah dengan menyebut nama Allah SWT yang atas berkat dan rahmat –Nya makalah Pendidikan Kewarganegaraan ini dapat diselesaikan dengan baik. Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Pendidikan Kewarganegaraan serta mengetahui lebih dalam tentang Supremasi hukum di Indonesia.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Joko Wasisto selaku dosen pengampu mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan yang telah memberikan ilmunya kepada penulis. Kemudian terima kasih kepada teman-teman yang telah membantu dalam penulisan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih memiliki banyak kekurangan dalam satu atau beberapa hal. Saran dan kritik dari pembaca adalah harapan dari penulis agar dapat lebih baik lagi dalam menyusun penulisan di masa mendatang. Akhir kata, Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Terima Kasih.

                                                                    Semarang, Juni 2016
                                                                                    

                                                                               Penulis





DAFTAR ISI

Halaman Judul....................................................................................................... i
Kata Pengantar ..................................................................................................... ii
Daftar Isi............................................................................................................... iii
BAB I Pendahuluan
          1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1
          1.2 Tujuan .................................................................................................. 2
          1.3 Batasan Masalah .................................................................................. 2
          1.4 Metodologi Penulisan .......................................................................... 2
          1.5 Sistematika Penulisan .......................................................................... 2
BAB II PERMASALAHAN ............................................................................... 4
BAB III PEMBAHASAN
          3.1 Terminologi dan Deskripsi tentang Supremasi Hukum....................... 7
          3.2 Pengaruh Globalisasi Terhadap Tatanan Hukum di Indonesia............ 10
BAB IV PENUTUP............................................................................................  14
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................  15


BAB I
PENDAHULUAN




1.1 Latar Belakang
Penegakan hukum di suatu negara sangatlah penting, karena sangat pentingnya hukum di suatu negara akan menciptakan masyarakat yang kondusif dan tenang bagi warganya dan sekaligus warga akan sangat menghormati hukum itu sendiri. Indonesia sendiri adalah negara hukum. Hal ini tertuang jelas dalam Pasal 1 ayat  (3) UUD 1945 Perubahan ketiga yang berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara hukum”.(UUD 1945) Sebagai konsekuensi dari Pasal 1 ayat (3) Amandemen ketiga UUD 1945, 3 (tiga) prinsip dasar wajib dijunjung oleh setiap warga negara yaitu supremasi hukum, kesetaraan di hadapan hukum, dan penegakan hukum dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum.
Di Indonesia belum tercipta tiga prinsip dasar tersebut yang sesuai harapan dengan terciptanya keadilan. Idealnya keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali. Akan tetapi dalam kenyataannya, selama ini yang berkuasa dan yang mempunyai uang banyaklah yang selalu dimenangkan oleh hukum, walaupun telah melanggar aturan negara seperti pejabat yang korupsi uang milyaran milik negara dapat berkeliaran dengan bebas, sedangkan orang biasa bahkan orang yang terhimpit ekonomi yang terpaksa mengambil sebuah semangka di sawah milik tetangganya, langsung ditangkap dan dimasukkan ke penjara.
Sejak keberhasilan gerakan reformasi melanda bangsa Indonesia, sebutan “supremasi hukum” menjadi kata yang sering diucapkan dan didengar. Istilah ini akan menjadi objek kajian yang menarik dan tidak ada habis-habisnya untuk dibahas. Hal ini disebabkan karena masalah supremasi hukum adalah bukti nyata proses penegakan hukum suatu bangsa. Hukum sebagai aturan, norma, dan kaidah akan selalu mempunyai posisi khas, ia langsung berada dan bekerja di tengah-tengah masyarakat. Keberagaman cita rasa masyarakat yang terkemas dalam budaya tradisional dan modern akan menyatu dalam suatu dimensi hukum.


Bertitik tolak dari pemikiran seperti itu, maka kebutuhan mendesak yang perlu diperhatikan oleh bangsa Indonesia adalah merumuskan kembali sikap menjunjung tinggi “supremasi hukum”, yang baik dan benar di tengah masyarakat yang plural ini. Agar tercipta masyarakat yang madani dan penuh keadilan di segala aspek kehidupan berbangsa.

1.2 Tujuan
            Tujuan dari pembutan makalah ini adalah untuk mengetahui lebih dalam tentang masalah seputar supremasi hukum di Indonesia di era globalisasi.

1.3 Batasan Masalah
            Pada makalah ini, masalah yang dibahas dibatasi pada lunturnya supremasi hukum di Indonesia.

1.4 Metodologi Penulisan
Metodologi penulisan yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah:
1. Melakukan pengamatan dan mencari studi pustaka.
2. Mengumpulkan data dan informasi melalui internet dari jurnal ilmiah dan artikel yang sudah teruji kebenaran dan terdapat fakta – fakta yang bisa dijadikan landasan pembahasan;

1.5 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
BAB I: PENDAHULUAN
Bab ini berisikan latar belakang, tujuan, batasan masalah, metodologi
penulisan makalah, dan sistematika penulisan makalah.
BAB II: PERMASALAHAN
Bab ini berisikan penggambaran secara khusus permasalahan yang akan dibahas lebih mendalam.
BAB III: PEMBAHASAN
Bab ini berisikan mengenai pembahasan atau analisis terhadap permasalahan yang telah digambarkan pada bab sebelumnya.
BAB IV: PENUTUP
Bab ini berisikan kesimpulan dari apa yang telah dibahas dari penulisan bab-bab sebelumnya.
BAB IV: DAFTAR PUSTAKA
Bab ini berisikan kumpulan referensi yang digunakan dalam penulisan makalah ini.







BAB II
PERMASALAHAN

Saat ini tidak mudah untuk memaparkan kondisi hukum di Indonesia tanpa adanya keprihatinan yang mendalam mendengar ratapan masyarakat yang terluka oleh hukum, dan kemarahan masyarakat pada mereka yang memanfaatkan hukum untuk mencapai tujuan mereka tanpa menggunakan hati nurani. Dunia hukum di Indonesia tengah mendapat sorotan yang amat tajam dari seluruh lapisan masyarakat, baik dari dalam negri maupun luar negri. Penegakan hukum yang merupakan proses peradilan yang berawal dari penyelidikan yang dilakukan pihak kepolisian dan berpuncak pada penjatuhan pidana dan selanjutnya diakhiri dengan pelaksanaan hukuman itu sendiri oleh lembaga pemasyarakatan. Semua proses pidana itulah yang saat ini banyak mendapat sorotan dari masyarakat karena kinerjanya, atau perilaku aparatnya yang jauh dari kebaikan.
Dari kepolisian kita akan mendengar banyaknya kasus penganiayaan dan pemerasan terhadap tersangka yang dilakukan oknum polisi pada saat proses penyidikan. Belum lagi perihal kriminalisasi terhadap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Institusi kejaksaan juga tidak luput dari cercaaan, dengan tidak bisa membuktikan kesalahan seorang terdakwa di pengadilan, bahkan ada satu kasus dimana jaksa gagal melaksanakan tugasnya sebagai penegak hukum yang baik setelah surat dakwaannya dinyatakan tidak dapat diterima. Adanya surat dakwaan yang tidak dapat diterima oleh majelis hakim, menunjukkan bahwa jaksa tersebut telah menjalankan tugasnya dengan dengan tidak profesioanl dan bertanggung jawab. Ironisnya tidak diterimanya surat dakwaan tersebut disebabkan karena hampir sebagian besar tanda tangan di berita acara pemeriksaan (BAP) merupakan tanda tangan palsu. Akhirnya proses pidana sampai di tangan hakim (pengadilan) untuk diputus apakah terdakwa bersalah atau tidak. Hakim sebagai orang yang dianggap sebagai ujung tombak untuk mewujudkan adanya keadilan, ternyata tidak luput juga dari cercaan masyarakat.
Banyaknya putusan yang dianggap tidak adil oleh masyarakat telah menyebabkan adanya berbagai aksi yang merujuk pada kekecewaan pada hukum. Banyaknya kekecewaan terhadap pengadilan (hakim) ini terkait dengan merebaknya isu mafia peradilan yang terjadi di tubuh lembaga berlambang pengayoman tersebut.
Institusi yang seharusnya mengayomi hukum ini sempat menyeret nama pimppinan tertingginya sebagai salah satu mafia peradilan. Kasus–kasus tersebut menunjukkan bahwa pengadilan masuk sebagai lembaga yang tidak dipercaya oleh masyarakat. Jika kita sudah tidak percaya lagi pada pengadilan, pada institusi mana lagi kita akan meminta keadilan di negri ini?
Mafia peradilan ternyata tidak hanya menyeret nama hakim semata, tetapi justru sudah merebak sampai pegawai-pegawainya. Panitera pengadilan yang tugasnya tidak memutus perkara ternyata juga tidak luput dari jerat mafia suap. Bahkan kasus suap ini telah menyeret beberapa nama sampai ke pengadilan. Ironisnya mafia ini juga sampai ke tangan para wakil rakyat yang ada di kursi pemerintahan. Sungguh ironis sekali kenyataan yang kita lihat sampai hari ini, yang semakin membuat bopeng wajah hukum Indonesia.Uraian di atas menunjukkan betapa rusaknya supremasi hukum di Indonesia. Hukum tidak lagi menjadi supremasi tertinggi sehingga hukum terkesan seperti pisau yang dipegang oleh orang-orang yang berkuasa saja, baik itu secara politis atau materi.
Supremasi hukum Indonesia bukan berarti tidak mungkin menjadi ideal dan membaik, meskipun hukum sering diselewengkan oleh beberapa pihak yang seharusnya menegakkan hukum itu sendiri, tetapi supremasi hukum yang baik dan keadilan yang merupakan cita – cita kita bersama dapat kita tegakkan.
Ada beberapa masalah mendasar dalam penegakan supremasi hukum Indonesia, seperti sistem peradilan yang dipandang kurang independen dan imparsial, belum memadainya perangkat hukum yang mencerminkan keadilan sosial, inkonsistensi dalam penegakan hukum, masih adanya intervensi terhadap hukum, lemahnya perlindungan hukum terhadap masyarakat, rendahnya kontrol secara komprehensif terhadap hukum, belum meratanya tingkat keprofesionalan para penegakan hukum, belum meratanya keprofesionalan para penegakan hukum, dan proses pembentukan hukum yang lebih merupakan power game yang mengacu pada kepentingan the powerfull dari pada the needy.
Masalah lainnya adalah masalah pelaksanaan hukum (Law Enforcement) yang dalam penerapannya justru melanggar hukum itu sendiri dan sering menindas HAM, seperti pembunuhan 1965 -1966, kasus penjarahan tokoterhadap warga tionghoa, kasus century, kasus berbagai tindakan KKN yang dilakukan mantan presiden RI Soeharto pada masa orde baru disebabkan karena rezim Soeharto mendominasi semua lembaga negara, termasuk lembaga penegak hukum dan tidak berlakunya “ rule of law”.
Di era reformasi pun ternyata basih terlihat bayangan – bayangan dan kekuatan orde baru, buktinya KKN yang merajalela di pemerintahan dan bahkan terlihat membudaya, mengingat hampir seluruh lembaga negara terdapat kegiatan KKN. Selain itu masih adanya undang – undang yang tidak demokratik, yaitu pada rezim ORBA yang telah berhasil menetapkan berbagai aturan hukum yang bertentangan dengan nilai- nilai demokrasi, HAM dan keadilan. Salah satunya adalah pencabutan TAP MPR no.XXV/1966 yang diusulkan oleh Abudrahman Wahid yang saat itu menjabat presiden.Berbagai perihal tersebut adalah bentuk masalah – masalah dalam supremasi hukum, masih banyak masalah – masalah lain yang ada, bentuk diatas merupakan contoh atau bentuk utama dari masalah supremasi hukum yang berkeadilan.







BAB III
PEMBAHASAN

3.1.   Terminologi dan Deskripsi tentang Supremasi Hukum
Istilah supremasi hukum, adalah merupakan rangkaian dari selingkuhan kata supremasi dan kata hukum, yang bersumber dari terjemahan bahasa Inggeris yakni kata supremacy dan kata law, menjadi “supremacy of law” atau biasa juga disebut “law’s supremacy”. 
Hornby.A.S (1974:869), mengemukakan bahwa secara etimologis,kata “supremasi” yang berasal dari kata supremacy yang diambil dari akar kata sifat supreme, yang berarti “Higest in degree or higest rank” artinya berada pada tingkatan tertinggi atau peringkat tertinggi. Sedangkan supremacy berarti “Higest of authority” artinya kekuasaan tertinggi.
Kata hukum diterjemahkan dari bahasa Inggeris dari kata “law”, dari bahasa Belanda “recht” bahasa Perancis “droit” yang diartikan sebagai aturan, peraturan perundang-undangan dan norma-norma yang wajib ditaati. 
Soetandyo Wignjosoebroto (2002:457), menyatakan bahwa secara terminology supremasi hukum, merupakan upaya untuk menegakkan dan menempatkan hukum pada posisi tertinggi yang dapat melindungi seluruh lapisan masyarakat tanpa adanya intervensi oleh dan dari pihak manapun termasuk oleh penyelenggara Negara.
Menegakkan dan menempatkan hukum pada posisi tertinggi tanpa adanya intervensi dari pihak eksternal dalam rangka melindungi seluruh lapisan masyarakat,oleh Charles Hermawan disebutnya sebagai kiat untuk memposisikan hukum agar berfungsi sebagai komando atau panglima(2003:1). 
Abdul Manan (2009:188), menyatakan bahwa berdasarkan pengertian secara terminologis supremasi hukum tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa supremasi hukum adalah upaya atau kiat untuk menegakkan dan memosisikan hukum pada tempat yang tertinggi dari segala-galanya, menjadikan hukum sebagai komandan atau panglima untuk melindungi dan menjaga stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara.
Rumusan sederhana dapat diberikan bahwa supremasi hukum adalah pengakuan dan penghormatan tentang superioritas hukum sebagai aturan main (rule of the game)dalam seluruh aktifitas kehidupan berbangsa, bernegara, berpemerintahan dan bermasyarakat yang dilakukan dengan jujur(fair play). 
Pengertian sederhana tersebut, telah terhubungkan dengan ide tentang teori kedaulatan hukum (rechtssovereiniteit). Hukum adalah kedaulatan tertinggi dalam suatu Negara, karenanya yang memerintah sesungguhnya adalah hukum, penyelenggara pemerintahan Negara hanya melaksanakan kehendak hukum, sehingga dalam konteks demikian hukum sebagai komando dan panglima.
Apa yang diartikan orang selama ini sebagai penegakan hukum (law enforcement) sepertinya hanya tertuju pada adanya tindakan represif dari aparat penegak hukum dalam melakukan reaksi tegas terhadap penindakan pelaku criminal.
Pemaknaan penegakan hukum secara demikian itu sangatlah sempit, oleh karena kewenangan penegakan hukum hanya seakan menjadi tanggungjawab aparat hukum semata, padahal tidak demikian halnya, oleh karena penegakan hukum konteksnya luas, termasuk tanggungjawab setiap orang dewasa yang cakap sebagai pribadi hukum (perzoonlijk) melekat kewajiban untuk menegakkan hukum. 

Pada perspektif akademik, Purnadi Purbacaraka, menyatakan bahwa penegakan hukum diartikan sebagai kegiatan menyerasikan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah/pandangan-pandangan menilai yang mantap dan mengejewantah dari sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup (1977).
Soerjono Soekanto, dalam kaitan tersebut, menyatakan bahwa sistem penegakan hukum yang baik adalah menyangkut penyerasian antara nilai dengan kaidah serta dengan prilaku nyata manusia (1983:13). 
Liliana Tedjosaputro, menyatakan bahwa penegakan hukum tidak hanya mencakup law enforcement tetapi juga peace maintenance, oleh karena penegakan hukum merupakan proses penyerasian antara nilai-nilai, kaidah-kaidah dan pola prilaku nyata, yang bertujuanuntuk mencapai kedamaian dan keadilan (2003:66).
Tugas utama penegakan hukum, adalah untuk mewujudkan keadilan, karenanya dengan penegakan hukum itulah hukum menjadi kenyataan (Liliana, 2003 : 66). Tanpa penegakan hukum, maka hukum tak ubahnya hanya merupakan rumusan tekstual yang tidak bernyali, yang oleh Achmad Ali biasa disebut dengan hukum yang mati. 
Untuk membuat hukum menjadi hidup harus ada keterlibatan nyata oleh manusia untuk merefleksikan hukum itu dalam sikap dan prilaku nyata yang konkrit. Tanpa cara demikian maka hukum tertidur pulas dengan nyenyak yang kemungkinannya hanya menghasilkan mimpi-mimpi.
Karena itu tidak ada cara lain agar hukum dapat ditegakkan maka perlu pencerahan pemahaman hukum bahwa sesungguhnya hukum itu tidak lain adalah sebuah pilihan keputusan, sehingga takkala salah memilih keputusan dalam sikap dan prilaku konkrit, maka berpengaruh buruk terhadap penampakan hukum di rana empiris. 

3.2.   Pengaruh Globalisasi Terhadap Tatanan Hukum di Indonesia
Globalisasi yang menunjuk pada terciptanya satu kesatuan dunia yang bersifat tanpa batas di antara negara/ non borderless telah mempengaruhi hampir seluruh kehidupan manusia. Salah satu di antaranya adalah bidang hukum. Pengaruh globalisasi dalam bidang hukum ini salah satunya dapat dilihat sejak pemerintah Indonesia melakukan ratifikasi terhadap Agremeent Establishing The World Trade Organization (WTO). Ratifikasi terhadap WTO Agreement ini menimbulkan adanya sebuah konsekuensi hukum bahwa Indonesia harus mengharmonisasikan seluruh hukum nasional yang terkait dengan ketentuan-ketentuan dalam WTO.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, bidang-bidang hukum yang harus diharmonisasikan dengan kaidah-kaidah WTO adalah bidang hukum perdagangan, investasi atau penanaman modal serta bidang hukum hak atas kekayaan intelektual. Hal ini sesuai dengan lampiran WTO Agreement sebagaimana terdapat di dalam General Agremeent on Tarif and Trade (GATT), Agreement on Trade Related Investment Measures (TRIMs) dan Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) sebagai perjanjian yang wajib ditaati oleh setiap negara anggota WTO. Upaya pengharmonisasian hukum sebagaimana dimaksud pada tataran selanjutnya telah melahirkan berbagai produk hukum yang dapat dikatakan kurang sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia. Pandangan ini dapat dipahami mengingat di satu sisi Indonesia merupakan sebuah negara yang lahir di atas paham komunal sementara kaidah-kaidah dalam WTO merupakan kaidah yang berasal dari corak kehidupan liberal negara maju.
Berbagai produk hukum yang lahir sebagai konsekuensi ratifikasi WTO Agreement tersebut telah menimbulkan pengaruh yang luar biasa bagi kehidupan masyarakat Indonesia terutama di bidang ekonomi. Sebagai contoh; pasca ratifikasi WTO Agreement kemudian pemerintah Indonesia menerbitkan beberapa produk peraturan perundang-undangan terutama di bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), bidang penanaman modal serta bidang perdagangan internasional yang dinilai masih belum sesuai dengan kondisi dan jiwa bangsa Indonesia. Dapat dikatakan bahwa berbagai produk hukum di bidang ekonomi ini bersifat liberal bahkan beberapa kalangan menyebutnya sebagai produk hukum yang bercorak kapitalis. Kondisi demikian tentunya memerlukan perhatian bagi seluruh komponen bangsa Indonesia terutama pemerintah agar jangan sampai perkembangan hukum yang demikian dapat menimbulkan timbulnya penjajahan model baru yang barang tentu akan merugikan masyarakat kecil sebagaimana dapat dilihat saat ini. Dengan perkataan lain, globalisasi yang telah memberikan pengaruh  besar terhadap tatanan hukum di Indonesia haruslah dijaga agar jangan sampai menimbulkan kerugian bagi bangsa Indonesia itu sendiri.
Apabila pembahasan mengenai pengaruh globalisasai sebagaimana tersebut di atas kemudian dikaitkan dengan pengkajian Prof. Sardjipto Rahardjo maka dapat dikatakan bahwa kondisi hukum dalam negara Indonesia saat ini menunjukkan adanya suatu kondisi kedaulatan politik yang lebih dominan. Dikatakan demikian oleh karena berbagai produk hukum yang lahir pada dasarnya banyak dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan politik yang dalam hal ini sangat erat dengan bidang ekonomi. Dalam era globalisasi yang ditandai dengan tingginya tingkat perdagangan dunia dan penanaman modal seperti saat ini, seolah telah menjadi rahasia umum mengenai masuknya berbagai pengaruh bisnis ke dalam pembuatan produk- produk hukum dengan menggunakan ‘globalisasi’ sebagai suatu pembenaran mutlak. Kondisi demikian semestinya tidak perlu atau setidaknya dapat diminimalisasi apabila para pemegang kewenangan pembentuk hukum di negeri ini memahami bentuk tatanan hukum nasional yang baik.
Tatanan politik hukum nasional yang baik menurut Prof. Sardjipto Raharjo adalah suatu  tatanan politik hukum yang mampu mengakomodir ketiga tatanan/order. Ketiga order sebagaimana dimaksud adalah transedental order, sociological order serta political order. Yang dimaksud dengan transedental order dalam hal ini adalah suatu order atau tatanan yang bersumber pada hukum yang berasal dari Tuhan termasuk hukum agama dan hukum alam. Menurut transedental order ini, kedaulatan hukum tidak lagi perlu dipermasalahkan oleh karena kedaulatan hukum berada di tangan Tuhan. Sementara itu berdasarkan pada sociological order maka kedaulatan hukum seharusnya dipegang atau berada di tangan rakyat. Hukum dipandang sebagai the living law atau hukum yang hidup bersama dengan kehidupan masyarakat sehingga kedaulatan hukum berada di tangan rakyat. Berbeda dengan kedua order tersebut, di dalam political order hukum dipandang sebagai produk politik. Oleh karena hukum merupakan produk politik maka yang terjadi kemudian adalah adanya supremasi politik terhadap hukum. Apabila dikaitkan dengan negara Indonesia sebagai negara hukum maka hal demikian seharusnya tidak perlu terjadi mengingat Indonesia adalah negara hukum dimana seharusnya hukum menjadi supremasi tertinggi yang mampu mengatur segala aspek kehidupan manusia tak terkecuali bidang politik.
Pengaruh globalisasi dalam tatanan hukum nasional Indonesia yang sedemikian besar tentu tidak dapat dibiarkan begitu saja. Melainkan hal yang demikian perlu diimbangi dengan adanya keinginan kuat dari segenap bangsa Indonesia dalam rangka pembangunan hukum  nasional yang lebih baik. Hal demikian semakin dapat dipahami mengingat globalisasi merupakan suatu  gejala yang tidak dapat ditolak ataupun dihindari oleh negara mana pun yang tidak ingin terkucil dalam percaturan internasional.
Menghadapi kondisi yang demikian, penulis berpendapat bahwa yang dapat dilakukan oleh bangsa Indonesia saat ini adalah melakukan berbagai upaya dalam rangka memaksimalkan daya saing dengan memanfaatkan berbagai pengecualian atau ketentuan-ketentuan khusus dalam hal ini adalah aturan-aturan khusus sebagaimana terdapat di dalam WTO agreement. Dengan perkataan lain, ketentuan-ketentuan dalam WTO agreement tidaklah bersifat mutlak bagi seluruh anggotanya melainkan masih terdapat keringanan atau perlakukan khusus bagi kelompok negara berkembang dan negara terbelakang. Sebagai contoh misalnya pemberlakuan prinsip Most Favoured Nation (MFN) yang oleh sebagian kalangan dirasa tidak adil sebenarnya memiliki pengecualian berlakunya bagi negara-negara berkembang.
Dengan demikian, tidaklah bijak kiranya apabila terdapat sebagian kalangan yang menempatkan pemerintah Indonesia sebagai pihak yang bersalah atau keliru dalam tindakan ratifikasi terhadap WTO Agreement sebagai pintu masuk bagi arus globalisasi yang nyata di negeri ini. Yang terpenting saat ini adalah bagaimana bangsa Indonesia mampu terus memperbaiki diri terutama berkaitan dengan pembangunan hukum nasional agar mampu menjadi hukum nasional yang ideal sebagaimana menurut Prof. Sartjipto Raharjo adalah suatu tatanan hukum yang di dalamnya mencakuptransedental order, sociological order serta political order.
Dengan demikian, apabila pembangunan hukum nasional telah di arahkan kepada pembangunan hukum yang ideal maka hukum dapat menjadi instrumen dalam rangka mencapai tujuan nasional bangsa Indonesia sebagaimana tercantum di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Namun demikian, political will dari pemerintah merupakan modal utama bagi terwujudnya pembangunan hukum nasional yang demikian.






BAB IV
PENUTUP

1.      Kesimpulan        
Jadi kesimpulan dari makalah ini adalah hukum di indonesia di letakkan pada tingkatan yang peling tinggi, tetapi dalam pelaksanaannya Penegakan hukum di Indonesia masih belum berjalan secara tepat sesuai dengan apa yang ingin diwujudkan didalam pancasili sila ke-lima yaitu “keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia”. Ini di buktikan dengan masih belum jelasnya penyelesain kasus-kasus yang merugikan masyarakat Indonesia seperti yang terjadi beberapa tahun lalu. Penegakan hukum yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dirasa belum sesuai dengan apa yang telah diatur oleh Undang-undang.
Juga masih banyak lagi kasus-kasus yamg lainnya, sehingga banyak orang-orang indonesia yang beranggapan hukum di Indonesia itu yang menang yang mempunyai kekuasaan, yang mempunyai uang banyak pasti aman dari gangguan hukum walau aturan negara dilanggar. Orang biasa yang ketahuan melakukan tindak pencurian kecil langsung ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Sedangkan seorang pejabat negara yang melakukan korupsi uang milyaran milik negara dapat berkeliaran dengan bebasnya. Banyak yang menilai bahwa perkembangan penegakan hukum di Indonesia masih jauh dari harapan. Sejak Indonesia merdeka sampai sekarang pasti terdapat kekurangan- kekurangan dalam mewujudkan supremasi hukum di Indonesia.





DAFTAR PUSTAKA

Bahan Kuliah Politik Hukum, Program Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 2011 oleh Prof. Sudjito Bin Atmoredjo
Peter Van Den Bosch. The Law and Policy of the World Trade Organization; Text, Cases and Materials. Cambridge University Press. 2005
Ahmad Zein Umar Purba. Hak Atas Kekayaan Intelektual Pasca Agreement On Trade Related Intelectual Property Rights (TRIPs). UI Press. 2003
Turiman. Memahami Hukum Progresif Prof Satjipto Rahardjo Dalam Paradigma ‘Tawaf’ (Sebuah Kontemplasi Bagaimana Mewujudkan Teori Hukum Yang Membumi/ Grounded TheoryMengIndonesia),

https://id.wikipedia.org/wiki/Hukum. Diakses tamggal 6 juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar